- Back to Home »
- Tugas »
- Sejarah Bahasa Indonesia
Posted by : Rizky
Senin, 07 Oktober 2013
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah
bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan
bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya
konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari sudut pandang
linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu.
Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)
dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat
penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan
berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa
Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928,
untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa
Melayu tet
digunakan.
Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa
Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini,
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata
baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa
asing.
Meskipun dipahami dan
dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah
bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia
menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa
ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali
menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan
dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia
digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat
lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,
sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga
Indonesia.
Fonologi dan tata bahasa
Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.
Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam
kurun waktu beberapa minggu.
Masa lalu sebagai bahasa Melayu
Bahasa Indonesia adalah
varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa
Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara
kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa
Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan
bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini,
berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan.
Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari
Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa
Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan
dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi
beragam.
Istilah Melayu atau Malayu
berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di
hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula
hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari
wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup
wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut,
mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga
Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu
semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya
diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke
pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku
Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat.
Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu
semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang
berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi,
Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam
Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang
Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi
pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah
Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (=
Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah
Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia.
Bahasa Melayu yang berkembang
di sekitar daerah Semenanjung Malaka
berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan
oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur
kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau
Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera
tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan
suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan),
dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera
sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku
Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami
perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan
kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang
historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk
kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto
Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah
mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya
agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi
sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami
amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang
Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu
secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti
kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau
moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa
tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku
Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad
ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna)
sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian
selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan
kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang
Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena
ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan
Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra,
istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada
periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang
bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval
Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya
kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya
terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan
Semenanjung Malaya.Wikipedia:Kutip sumber tulisan Laporan Portugis,
misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua
pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari
Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam
ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan
bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak
abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat,
dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar,
tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa
Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang
Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan
mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak
memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti
gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama
banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam
upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata
seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa
ini.
Bahasa yang dipakai
pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat
kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah
dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan
perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko,
tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten
pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa
bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di
"dunia timur".Luasnya penggunaan
bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa
perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur
dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses
pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di
Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga
menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa
di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar
bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).
Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh
para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi
ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor
(pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak
saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged,
sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki
kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19
dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal
masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta
bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa
ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi
kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
Bahasa Indonesia
Pemerintah kolonial
Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu
administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda
para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu
Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda
mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan
di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa
Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia
yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu
Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20
perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun
1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan
pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia)
di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari
penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh
Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah
semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur
("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini
menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A.
Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil
di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.
Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar
700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara
resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli
sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin
mengatakan,
"Jika mengacu pada masa
depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua
bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan
Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan
menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan
bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan
Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir
Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan
tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun
morfologi bahasa Indonesia.
Peristiwa-peristiwa penting
• Tahun
1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang
diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian
pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan
novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok
tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran
bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
• Tanggal
16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya.
Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato
menggunakan bahasa Indonesia.
• Tanggal
28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu
menjadi bahasa persatuan Indonesia.
• Tahun
1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai
Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
•
Tahun
1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
• Tanggal
25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil
kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia
saat itu.
• Tanggal
18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
• Tanggal
19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van
Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
• Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di
Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk
terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa
kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
• Tanggal
16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan
penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato
kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden
No. 57 tahun 1972.
• Tanggal
31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
• Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang
ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa
Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia.
• Tanggal
21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang
ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara
Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat
tercapai semaksimal mungkin.
• Tanggal
28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia
dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei
Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu
ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
• Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu
dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong,
India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan
statusnya menjadi
Lembaga Bahasa Indonesia, serta
mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
• Tanggal
26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel
Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan
Bahasa.
Penyempurnaan ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa
Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:
Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan
bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh
Nawawi Soetan Ma ’moer
dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896.
Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu
resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini
yaitu:
1. Huruf
ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya
harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai.
Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2.
Huruf
j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang,
dsb.
3.
Huruf
oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer,
dsb.
4.
Tanda
diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer,
’akal, ta’, pa’, dsb.
Ejaan Republik
Ejaan
ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan
ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
1.
Huruf
oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur,
dsb.
2.
Bunyi
hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak,
rakjat, dsb.
3.
Kata
ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2,
ke-barat2-an.
4.
Awalan
di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata
yang mendampinginya.
Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep ejaan ini dikenal
pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun
berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan ini diresmikan
pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia.
Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD,
ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin
dibakukan.
Perubahan:
|
|
|
||
|
Indonesia
|
Malaysia
|
Sejak
1972
|
|
|
(pra-1972)
|
(pra-1972)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
tj
|
ch
|
c
|
|
|
|
|
|
|
|
dj
|
j
|
j
|
|
|
|
|
|
|
|
ch
|
kh
|
kh
|
|
|
|
|
|
|
|
nj
|
ny
|
ny
|
|
|
|
|
|
|
|
sj
|
sh
|
sy
|
|
|
|
|
|
|
|
j
|
y
|
y
|
|
|
|
|
|
|
|
oe*
|
u
|
u
|
|
|
|
|
|
|
Catatan: Tahun 1947
"oe" sudah digantikan dengan "u".
|
|
|
|
Daftar kata serapan dalam bahasa
Indonesia
Bahasa
Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak
menyerap kata-kata dari bahasa lain.
Asal Bahasa
|
Jumlah
Kata
|
|
|
Belanda
|
3.280 kata
|
|
|
Inggris
|
1.610 kata
|
|
|
Arab
|
1.495 kata
|
|
|
Sanskerta-Jawa
Kuno
|
677 kata
|
|
|
Tionghoa
|
290 kata
|
|
|
Portugis
|
131 kata
|
|
|
Tamil
|
83 kata
|
|
|
Parsi
|
63 kata
|
|
|
Hindi
|
7 kata
|
|
|
Sumber: Buku berjudul
"Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun
oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
(sekarang bernama Pusat Bahasa).
Adapun
jumlah kata-kata yang diserap dari bahasa Nusantara dalam KBBI Edisi Keempat
ditunjukkan di dalam daftar berikut:
Asal
bahasa
|
Jumlah
kata
|
|
|
Jawa
|
1109 kata
|
|
|
Minangkabau
|
929 kata
|
|
|
Sunda
|
223 kata
|
|
|
Madura
|
221 kata
|
|
|
Bali
|
153 kata
|
|
|
Aceh
|
112 kata
|
|
|
Banjar
|
100 kata
|
|
|
Penggolongan
Indonesia termasuk anggota
dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa Melayu-Polinesia
yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue, bahasa
Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan di timur
laut Sumatra
Distribusi geografis
Bahasa Indonesia dituturkan
di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area perkotaan
(seperti di Jakarta dengan dialek Betawi serta logat Betawi).
Penggunaan bahasa di daerah
biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek dan logat di daerah bahasa
Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah
kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa
Indonesia.
Kedudukan resmi
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan
yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:
1. Ikrar
ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
2. Undang-Undang
Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka
kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
1.
Bahasa
kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
2.
Bahasa
negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Fonologi
Bahasa
Indonesia mempunyai 26 fonem yaitu 21 huruf mati dan 5 huruf hidup. Di samping
itu sistem tata bahasanya sederhana, di mana:
Vokal
|
Depan
|
Madya
|
Belakang
|
|
|
|
|
Tertutup
|
iː
|
|
uː
|
|
|
|
|
Tengah
|
e
|
ə
|
o
|
|
|
|
|
Hampir Terbuka
|
(ɛ)
|
|
(ɔ)
|
|
|
|
|
Terbuka
|
a
|
|
|
|
|
|
|
Bahasa
Indonesia juga mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Namun, di dalam suku
kata tertutup seperti air kedua vokal tidak diucapkan sebagai diftong
Konsonan
|
Bibir
|
Gigi
|
Langit2
|
Langit2
|
Celah
|
|
|
|
|
keras
|
lunak
|
suara
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Sengau
|
m
|
n
|
ɲ
|
ŋ
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Letup
|
p b
|
t d
|
c ɟ
|
k g
|
ʔ
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Desis
|
(f)
|
s (z)
|
(ç)
|
(x)
|
h
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Getar/Sisi
|
|
l r
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Hampiran
|
w
|
|
j
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
• Vokal
di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda kurung
adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
•
/k/,
/p/, dan /t/ tidak diaspirasikan
•
/t/
dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa
Inggris.
•
/k/
pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara
• Penekanan
ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Namun apabila
suku kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.
Sistem Penulisan
Huruf
besar
|
Huruf
kecil
|
IPA
|
Huruf
besar
|
Huruf kecil
|
IPA
|
|
|
|
|
|
|
A
|
a
|
/ɑː/
|
N
|
n
|
/n/
|
|
|
|
|
|
|
B
|
b
|
/b/
|
O
|
o
|
/ɔ, o/
|
|
|
|
|
|
|
C
|
c
|
/tʃ/
|
P
|
p
|
/p/
|
|
|
|
|
|
|
D
|
d
|
/d/
|
Q
|
q
|
/q/
|
|
|
|
|
|
|
E
|
e
|
/e, ɛ, ə/
|
R
|
r
|
/r/
|
|
|
|
|
|
|
F
|
f
|
/f/
|
S
|
s
|
/s/
|
|
|
|
|
|
|
G
|
g
|
/ɡ/
|
T
|
t
|
/t/
|
|
|
|
|
|
|
H
|
h
|
/h/
|
U
|
u
|
/u/
|
|
|
|
|
|
|
I
|
i
|
/i/
|
V
|
v
|
/v, ʋ/
|
|
|
|
|
|
|
J
|
j
|
/dʒ/
|
W
|
w
|
/w/
|
|
|
|
|
|
|
K
|
k
|
/k/
|
X
|
x
|
/ks/
|
|
|
|
|
|
|
L
|
l
|
/l/
|
Y
|
y
|
/j/
|
|
|
|
|
|
|
M
|
m
|
/m/
|
Z
|
z
|
/z/
|
|
|
|
|
|
|
Tata bahasa
Dibandingkan dengan
bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata bergender. Sebagai
contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan
apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga
ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai
contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus
ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata yang berjenis
kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Kata-kata
seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata
itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah kata
benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi
hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu
orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga
mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.
Bahasa Indonesia menggunakan
dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami" dan
"kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti
tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti
inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar yaitu
Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata
kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek.
Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan
dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau
"esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau
"belum".
Dengan tata bahasa yang
cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada
penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang
pertama kali belajar bahasa Indonesia.
Awalan, akhiran, dan sisipan
Bahasa Indonesia mempunyai
banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari bahasa-bahasa
Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.
Awalan
|
Fungsi (pembentuk)
|
Perubahan bentuk
|
Kaitan
|
|
|
|
|
ber-
|
verba
|
be-; bel-
|
per-
|
|
|
|
|
ter-
|
verba; adjektiva
|
te-; tel-
|
ke-
|
|
|
|
|
meng-
|
verba (aktif)
|
me-; men-; mem-; meny-
|
di-; pe-; ku-; kau;
|
|
|
|
|
di-
|
verba (pasif)
|
|
meng-
|
|
|
|
|
ke-
|
nomina; numeralia; verba (percakapan)
|
|
ter-
|
|
|
|
|
per-
|
verba; nomina
|
pe-; pel-
|
ber-
|
|
|
|
|
peng-
|
nomina
|
pe-; pen-; pem-; peny-
|
meng-
|
|
|
|
|
se-
|
klitika; adverbia
|
|
|
|
|
|
|
ku-,
kau-
|
verba (aktif)
|
|
me-
|
|
|
|
|
Dialek dan ragam bahasa
Lihat pula: Varian-varian bahasa Melayu
Pada
keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut
pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut
sebagai ragam bahasa.
Dialek dibedakan atas hal
ihwal berikut:
1. Dialek
regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah
tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah
dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka
bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta
(Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
2. Dialek
sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat
tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya
dialek wanita dan dialek remaja.
3. Dialek
temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu.
Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman
Abdullah.
4. Idiolek,
yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa
Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam
pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam
bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka
itu, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan
hubungan antarpembicara.
Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan
meliputi:
1.
ragam
undang-undang
2.
ragam
jurnalistik
3.
ragam
ilmiah
4.
ragam
sastra
Ragam bahasa menurut hubungan
antarpembicara dibagi atas:
1.
ragam
lisan, terdiri dari:
1.
ragam
percakapan
2.
ragam
pidato
3.
ragam
kuliah
4.
ragam
panggung
2.
ragam
tulis, terdiri dari:
1.
ragam
teknis
2.
ragam
undang-undang
3.
ragam
catatan
4.
ragam
surat-menyurat
Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak
dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:
1.
komunikasi
resmi
2.
wacana
teknis
3.
pembicaraan
di depan khalayak ramai
4.
pembicaraan
dengan orang yang dihormati
Selain keempat penggunaan tersebut,
dipakailah ragam bukan baku.